Revolusi Pendidikan di Siantar-Simalungun
Ide besar kegiatan ini adalah tentang transformasi peradaban
di Pematangsiantar dan Simalungun. Kondisi di sana cukup mengerikan
sebenarnya, namun terasa biasa saja kalau dipandang dari kacamata
sebagian besar penduduk yang seumur hidupnya berada di sana. Tidak ada
penyakit sama sekali. Kami pun dulunya berpikiran demikian. Sebagaimana
pepatah: Life’s good, La vita é Bella.
Namun pandangan itu jauh berubah setelah kami merantau dan mulai
melakukan ‘studi banding’ kondisi masyarakat antara kota-kota yang
pernah didiami semasa kuliah dan negara-negara yang disinggahi selama
kerja 2-3 tahun terakhir. Something has to be changed!
Peradaban di Siantar-Simalungun ini sedang sakit, yaitu sakit ragawi (infrastruktur, sistem-sistem sosial) dan sakit jiwa. Well,
untuk ragawi, siapalah kami pemuda-pemudi ini. Kami tak dikenal, bukan
manusia kaya raya, dan sebagainya. Kami belum punya kapasitas untuk
melakukan sesuatu dalam usaha transformasi ragawi tadi. Lalu masuklah
kami ke ranah jiwa, psikologis atau sesuatu yang erat kaitannya dengan
akhlak dan karakter. Kami merasa bisa berbuat sesuatu dan jelas: There is a big room for improvement.
Dr. Kartini Kartono pernah mengatakan bahwa orang yang paling sakit
mentalnya adalah orang yang paling merasa tidak punya masalah mental.
Maka kami pun tidak merasa heran kalau sebagian besar penduduk di
Pematangsiantar-Simalungun merasa semua baik-baik saja, because corruption is the way it is.
Kita ada di peradaban yang mewarisi mental feodalisme, mentalitas
budak dan terbiasa mencari jalan keluar dengan menjilat pejabat, mafia,
atau siapapun yang berkuasa. Hal yang sama digambarkan dengan sangat
apik oleh Dr. Robert Putnam lewat studinya tentang perbandingan
peradaban Italia Utara dan Selatan.
Terusik dengan keadaan itu, kami pun memutuskan perang! Perang yang
tak kelihatan, perang yang panjang dan melelahkan. Untuk memulainya,
kami memilih dunia pendidikan sebagai arena pertempuran. Tempat di mana
segala sesuatu dimungkinkan. Jika transformasi peradaban mampu
dibayangkan, maka pastilah mampu direalisasikan. Memang lapangan
pendidikan saat ini belum rata, masih jauh untuk mengharapkan
kemenangan. Namun bukan berarti itu jadi alasan untuk berpangku tangan.
Langkah itu kami mulai dengan penuh kegentaran hati, melalui
pendirian lembaga motivasi belajar yang berbasiskan etos pendidikan.
Lembaga motivasi ini bertujuan untuk membina, melatih, dan mengutus
anak-anak sekolah, mulai kelas 6 SD sampai 3 SMP untuk menjadi agen-agen
perubahan di lingkungannya lewat impian, motivasi yang tinggi untuk
sukses, dan mental bekerja keras.
Lembaga ini bernama Sopo Helios, dimana Sopo berasal dari bahasa
Batak, yang berarti tempat peristirahatan/persinggahan sementara dan
Helios berasal dari Mitologi Yunani yang berarti Matahari sebagai sumber
pencerahan, energi, dan terang. Kami berharap lembaga belajar ini dapat
membekali dan membentuk anak-anak muda Pematangsiantar-Simalungun
menjadi kumpulan pejuang yang berjuang untuk mimpi-mimpinya sehingga
pelan namun pasti dapat memutus rantai generasi frustrasi.
Seminar Pendidikan Sebagai Langkah Awal
Sopo Helios ikut ambil bagian sebagai der panzer dalam
perang yang tak kelihatan ini. Dengan kesamaan visi dan keterbebanan
yang besar akan transformasi dunia pendidikan, salah satu trainer
Pengajar Muda dalam Gerakan Indonesia Mengajar ikut serta menawarkan
bantuan untuk membentuk pola pikir dan visi yang benar akan filosofi
pendidikan serta metode pengajaran yang aktif dan konstruktif.
Lewat kolaborasi yang apik, Sopo Helios mengirimkan salah satu agen
perubahannya (baca: Staf Pengajar) untuk menimba ilmu dalam proses
penggodokan Pengajar Muda yang akan dikirim ke pelosok-pelosok tanah
air. Dan sekembalinya dari kamp pelatihan tersebut, agen tersebut
kembali ke Pematangsiantar untuk mewariskan ilmu dan metode yang
diperoleh.
Untuk menyukseskan misi ini, kami mencoba melakukan berbagai hal.
Kerja sama dengan berbagai pihak dicapai dengan skala yang lebih masif
dan profesional. Dua orang pakar pendidikan dasar dan menengah diminta
untuk datang ke Pematangsiantar untuk ambil bagian dalam perang ini.
Bapak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan pernah
berujar untuk memuliakan para guru dan menjadikan mereka sebagai harta
karun bangsa. Ujaran ini sangat sederhana namun berimplikasi luas dan
jangka panjang. Transformasi peradaban harus dimulai dari para pendidik,
sesuatu yang pernah dilakukan oleh Kaisar Hirohito di Jepang pasca
pengeboman Nagasaki dan Hiroshima.
Maka dengan dasar pemikiran di atas, Sopo Helios memulai sebuah
pertempuran genting bertajuk “Memanusiakan Manusia” lewat sebuah Seminar
Nasional yang mengundang sekitar 500 orang Guru dari Kota
Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Seminar ini bertujuan untuk
memberikan wawasan tentang situasi pendidikan Indonesia dan
tantangan-tantangannya di Abad XXI ini.
Lewat dua sesi materi, guru-guru daerah ini dibekali dengan pemaparan
level nasional oleh para pakar pendidikan yang kredibel dan diakui
secara nasional. Jika ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk memuliakan
para guru, maka membawa para pakar ini ke hadapan mereka adalah salah
satu cara terbaik.
Tak berhenti di seminar, rangkaian kegiatan pun dilanjutkan dengan
Pelatihan berdurasi 2 hari untuk 100 guru yang terbilang muda (≤ 40
tahun). Guru-guru ini akan mengikuti kelas pelatihan Active Learning (bagi Guru-guru SD) dan kelas pelatihan Character Building (bagi
Guru-guru SMP), dilayani dengan 8 sesi berkualitas dan intensif, dan
nantinya diutus untuk “berjihad” dalam memperbaiki kualitas metode
pengajaran di sekolahnya masing-masing.
Seminar dan pelatihan guru-guru ini adalah langkah vital yang harus
diambil dalam perang yang tak kelihatan ini. Maka dengan bekal pemikiran
di atas, kami tak gentar berhadapan muka dengan muka dengan Bupati dan
Walikota beserta jajarannya. Mengingat pentingnya acara ini, dengan
penuh kepercayaan diri kami juga mengajak Dinas Pendidikan daerah untuk
bekerja sama secara profesional, tanpa meminta biaya dari Pemkab dan
Pemko tersebut.
Kenapa? Ada hal-hal yang perlu diajarkan dengan kekuatan penuh kepada
para penguasa di daerah ini. Uang adalah materi yang sangat sensitif,
oleh karena begitu banyaknya pihak yang seolah-olah ingin mengkritisi
sosio-kultural lewat lembaga-lembaga tertentu, namun sikap kritis
tersebut langsung luntur dan hilang tak berbekas hanya dengan sogokan
uang Rp 20.000,00 saja. Maka kami pun memutuskan TIDAK untuk bantuan
dana dari pemerintah!
“Pertempuran” lewat Seminar Pendidikan dan Pelatihan Guru ini pun
didanai lewat sebuah konsep yang elegan nan santun. Kami melibatkan
korporasi dan sahabat-sahabat perantau asal Siantar-Simalungun untuk
berbagi dalam hal dana. Instansi seperti Bank Indonesia sampai
perusahaan ritel tak mau ketinggalan berkontribusi lewat dana. Lalu
donasi berdatangan tanpa henti mulai dari sahabat terdekat sampai kepada
filantropi anonim yang berhati Superhero.
Luar biasa! Perang yang tak kelihatan ini mendapat dukungan yang
melebihi ekspektasi kami. Ternyata di luar sana, putra-putri daerah
Pematangsiantar-Simalungun juga merasakan kegelisahan yang kami rasakan
juga di Sopo Helios Education Centre ini.
Beberapa perusahaan lokal pun menangkap impian kami. Secara sukarela,
kami datang ke kantor-kantor mereka untuk berbagi motivasi, pengalaman
bekerja secara profesional di level internasional, dan memberikan
pelatihan etos kerja profesional, semua demi transformasi kualitas
manusia Pematangsiantar-Simalungun lewat transformasi etos kerja.
Dalam satu kalimat, mimpi kami adalah:
Mewujudkan Siantar-Simalungun yang berbudaya, bercita-rasa, dan berkarya!